Breaking News
Loading...
Jumat, 23 Mei 2014

PENGOLAHAN AIR BALAS (BALLAST WATER TREATMENT)

Mungkin sesuatu yang tidak kita sadari bahwa dibalik melimpahnya resources dari lautan kita yang begitu luas ternyata mengandung suatu ancaman pencemaran? Betapa tidak, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang melintang pada 6°LU - 11°08'LS dan membujur di 97°' - 141°45'BT tentunya perairan Indonesia tak luput dari lalu lalang transportasi laut yang begitu padat. 
Banyaknya kapal yang melalui perairan tersebut mengandung konsekuensi logis, yaitu adanya potensi pencemaran baik di pelabuhan, laut, maupun udara. 
Sebagai contoh, tumpahan minyak dari kapal tanker, tumpahan muatan dari kapal pembawa bahan kimia (chemical tanker), pelepasan SO2, NO2, dan CO2 ke atmosper dari gas buang mesin kapal, dan penyebaran biota laut yang invasif (invasive marine species) dari tanki balas. Bahan pencemar (polutan) tersebut secara akumulatif akan merusak ekosistem alam semesta.
 
Seperti terlihat pada Gambar 1, bahwa ketika kapal-kapal barang seperti kapal kontainer atau tanker membongkar muatan, air laut dipompa ke dalam kompartemen di lambung kapal, sedang ketika mengangkut muatan, air laut di lambung kapal tadi dibuang ke laut. Air laut yang dipompakan ke lambung atau dibuang ke laut tadi berfungsi sebagai alat untuk menstabilkan dan menyeimbangkan kapal.
Gambar 1. Sistem Balas Kapal Menggunakan Air Laut
Prinsip Kerja Pengolahan Air Balas

Gambar 2 mengilustrasikan lebih jelas tentang bagaimana pertukaran air balas terjadi. 
Sebuah kapal dari Lautan India berlayar melalui Terusan Suez, membongkar muatan di Mediterania sehingga kapal tersebut perlu mengisi tanki balas sebelum mengarungi Lautan Atlantic. 
Pertukaran air balas (ballast water exchange) terjadi di Lautan Atlantik sehubungan dengan akan masuk ke kawasan Great Lakes. Sehubungan dengan kapal mengangkut muatan terigu/gandum, maka air balas dibuang ke laut.
Dari aktifitas yang digambarkan di atas, di seluruh dunia ada kurang lebih 10 milyar ton meter kubik air balas yang ditransfer kapal setiap tahunnya. 
Permasalahannya, air tersebut mengandung ribuan spesies hewan laut maupun tanaman laut yang menimbulkan masalah bagi lingkungan laut, kesehatan manusia, serta mengancam ekonomi kelautan yang bergantung pada ekosistim laut yang sehat.
Mnemiopsis leidy, spesies sejenis comb jellyfish yang menghuni estuari dari Amerika Serikat sampai ke Tanjung Valdés di Argentina sepanjang pantai Lautan Atlantik telah menyebabkan kerusakan di Laut Hitam. 
Pada tahun 1982, diidentifikasi bahwa populasi jenis ubur-ubur ini meningkat secara eksponensial dan pada tahun 1988, merusak usaha penangkapan ikan setempat. Penangkapan ikan Anchovy menurun drastis dari 204.000 ton di tahun 1984 menjadi hanya 200 ton di tahun 1993; ikan Spart dari 24.600 ton di tahun 1984 menjadi 12.000 ton di tahun 1993; ikan Mackerel dari 4.000 ton di tahun 1984 menjadi nol di tahun 1993. 
Sekarang ubur-ubur ini telah meluluhlantakkan zooplankton termasuk larva ikan sehingga jumlahnya menurun secara drastis. S
ekali invasive marine species seperti ubur-ubur ini menempati suatu area baru, dia bisa menguasai daerah tersebut, menyebarkan jenis penyakit baru, menciptakan material gen baru, merubah landscape dan menurunkan kemampuan spesies lokal dalam mencari makanan. 
Untuk memperbaiki kerusakan lingkungan di daratan dan lautan Amerika yang diakibatkan oleh spesies invasif ini dikeluarkan biaya sekitar 137 milyar dolar Amerika setiap tahun.
Akibat lain dari datangnya spesies asing kedalam lingkungan baru, air balas yang dibuang ke laut dapat menyebarkan penyakit menular dan penyakit yang mematikan, dan racun yang secara potensial dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi manusia dan kehidupan biota laut. 
air balas ke ling­kungan perairan pantai berpotensi menyebabkan keracunan bagi biota laut dan mikro­organisme. Hal ini menyebabkan berbagai masalah, seperti perubahan pola pertum­buh­an, kerusakan siklus hormonal, kecacatan dalam kelahiran, penurunan sistem kekebalan, dan menyebabkan kanker, tumor, dan kelainan genetik atau bahkan kematian.
Spesies asing tersebut juga bisa merangsang pertumbuhan biota laut dan sebagai sumber makanan. Seafood menjadi terkontaminasi dan tidak sehat untuk dikonsumsi manusia. Tidak mengherankan, penyebaran penyakit Cholera adalah penyakit yang disebabkan polusi laut dari pengoperasian kapal. 
Penelitian terakhir para ahli menyatakan bahwa bakteri penyebab Cholera, Vibrio Cholerae, dapat menyebar melalui organisme laut yang hidup di air balas. Seafood sebangsa kerang-kerangan dan air minum juga terkontaminasi ketika kapal membuang air balasnya.
REGULASI SISTEM AIR BALAS

Regulasi air balas yang diundangkan oleh IMO (International Maritime Organisation) bertujuan untuk meminimalkan resiko masuknya spesies baru ke daerah perairan lain. 
Standard D-1 (Ballast Water Exchange) yang masih berlaku sampai saat ini dilaksanakan dengan membilas air balas sebanyak tiga kali di laut yang berjarak lebih dari 200 nautical mile dari pantai dengan kedalaman lebih dari 200 meter. 
Metode ini sangat efektif sebab organisma dari perairan pantai sepertinya tidak bisa survive di lautan lepas atau sebaliknya, organisma dari lautan lepas tidak akan bisa bertahan di perairan pantai. 
Tetapi metoda ini mengandung beberapa kelemahan, yaitu (1) sedimen dan residu dari dasar tanki balas sangat sulit untuk dihilangkan secara keseluruhan, (2) organisma yang menempel pada sisi-sisi tangki balas atau penyangga struktur kapal dalam tangki balas tidak bisa dikeluarkan, dan (3) tidak bisa melakukan pembilasan jika badai atau ombak besar terjadi selama dalam pelayaran. 
Sehingga organisma yang berada di dalam tangki balas mungkin terikut dibilas pada saat kapal mendekati pelabuhan.
Standar yang lain adalah Standard D-2 (ballast water treatment). Standar ini mensyaratkan adanya treatment bagi air balas yang ditemukan adanya kandungan lebih dari 10 mikroorganisme per meter kubik yang berukuran lebih dari atau sama dengan 50 mikron. 
Dengan adanya pengolahan (water treatment) ini maka tidak akan ada lagi mikroorganisma yang lolos ke lingkungan baru, sehingga kerusakan lingkungan dapat dicegah.

Mengingat hebatnya pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh air balas, maka Konvensi Internasional untuk Kontrol dan Managemen Air Balas yang diadakan pada tahun 2004, mewajibkan semua kapal yang menggunakan air balas untuk menerapkan Standard D-2 atau melengkapi dengan pengolahan air balas (water treatment) pada tahun 2016. 
Teknologi pada pengolahan air balas yang disyaratkan oleh IMO harus bebas bahan aditif, bahan kimia dan racun.
Sistem Balast Diatas Kapal
Gambar 3. Prinsip Kerja Pengolahan Air Balas
Salah satu teknologi terkini yang digunakan dalam pengolahan air balas adalah menggunakan AOT (Advanced Oxidation Technology). 
Teknologi AOT ini menggunakan Titanium Dioxide Catalyst yang akan menghasilkan radikal ketika disinari. Radikal yang bertahan hidup hanya beberapa mili detik ini akan berfungsi sebagai pembunuh membran sel dari mikroorganisme.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 3, bahwa ketika pengisian tangki balas (ballasting), air dari laut dilewatkan filter 50 mikro meter untuk menyaring partikel-partikel besar untuk menghindari sedimentasi dan mikroorganisme yang tidak diinginkan. 
Kemudian air dialirkan melalui Wallenius AOT yang memproduksi radikal yang berfungsi membunuh mikroorganisme yang masih bisa lolos dari filter sebelumnya. 
Ketika membuang air balas ke laut (deballasting), air dari tangki balas dialirkan melalui Wallenius AOT untuk yang kedua kalinya, sehingga menetralkan air balas dari mikroorganisme yang berbahaya.
PENUTUP

Spesies laut yang invasif (invasive marine species) adalah salah satu ancaman terhebat bagi perusakan lingkungan. 
Tidak seperti sumber pencemar yang lain seperti tumpahan minyak yang masih bisa dilakukan upaya penanggulangannya, sekali tercemar oleh spesies invasif maka sangat sulit untuk ditanggulangi.
Untuk pencegahan terjadinya masalah ini, sangatlah tepat IMO selaku otoritas kemaritiman internasional memberlakukan konvensi sistem air balas di kapal. 
Pemberlakuan Standard D-2 untuk seluruh kapal nanti di tahun 2016 diharapkan dapat mencegah munculnya spesies invasif, sehingga kerusakan lingkungan yang berdampak negatif terhadap biota laut dan kesehatan manusia serta ekonomi bisa dihindari.
Daftar Acuan:

  1. GloBallast Partnerships, http://globallast.imo.org/index.asp?page=ballastw_%20treatm.%1fhtm&menu=true, diakses tanggal 26 Juni 2008.
  2. Guidelines for The Control and Management of Ship’s Ballast Water to Minimize The Transfer of Harmful Aquatic Organisms and Pathogens, International Maritime Organisation (IMO), Resolutionhttp://globallast.imo.org/., diakses tanggal 26 Juni 2008.
  3. Marine Bioinvasions Fact Sheet: Ballast Water Treatment Options,http://massbay.mit.edu/resources/pdf/ballast-treat.pdf, diakses tanggal 30 Juni 2008.
  4. PureBallast Technical Data, http://www.alfalaval.com/pureballast. diakses tanggal 26 Juni 2008.
  5. http://nihlawati.blogspot.com/2009/03/artikel-lingkungan.html

0 komentar:

Posting Komentar